Mengapa harus menulis dari otak kanan dulu baru otak kiri? Itulah pertanyaan yang menggelayut dalam pikiranku ketika membaca hadiah 1 Sekolah Menulis Online. Aneh memang, kok menulis harus seperti itu.
Namun, pikiranku lalu berputar, mencoba mencari tujuan hadiah ini. Sampai akhirnya, aku teringat tentang apa yang pernah ditulis oleh Hernowo, penulis buku Mengikat Makna, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza, Quantum Reading, Quatum Writing, dan buku lainnya yang berhubungan dengan kemahiran berbahasa, khususnya tentang membaca dan menulis.
Menurut Hernowo, kesulitan awal ketika menulis adalah bagaimana mengeluarkan ide-ide yang bergentayangan di kepala. “Bagaimana mendobrak kebuntuan menulis?” kata Hernowo. Itulah yang menjadi permasalahan penulis pemula (dan juga mungkin penulis senior suatu saat). Wajar memang jika ketika menulis sulit untuk menuangkan ide dalam bentuk kalimat yang pas, enak dibaca, dan gurih.
Rupanya, cara ini digunakan memang untuk menggairahkan otak kanan agar bisa bebas dan melayang sesuka hati. Maka dari itu, Hernowo menyarankan untuk tidak terlalu terpaku untuk menggunakan otak kiri. “Bagaimana mau bisa menulis kalau terus memikirkan kata ini pas tidak, EYD-nya sudah benar belum ya, atau kalimat ini berhubungan nggak dengan kalimat sebelumnya. Itu kan tugas otak kiri,” mungkin begitu kira-kira ucapan Hernowo dalam sebuah bukunya.
Bahkan, Hernowo menyarankan untuk terus menulis dalam sebuah buku harian. Itu sangat bermanfaat melatih otak kanan, karena dalam buku harian kita bebas menulis apa saja, dengan gaya apa saja, asalkan sesuka kita. Jadi, mirip buku chicken soup versi sendiri.
Menulis buku harian pun, saran Hernowo, harus dilakukan secara rutin, meskipun hanya satu kalimat. Kendati hanya satu kalimat, itu rupanya sudah melatih otak kita untuk terus menulis. Setidaknya itu memberikan stimulus kepada otak untuk tetap menulis.
Hernowo juga menyarankan agar menulis apa saja yang terlintas dalam pikiran kita. Jika kita tidak tahu harus menulis apa, tulis saja seperti itu, ‘saya tidak tahu apa yang akan saya tulis.” Aneh memang tapi itu bisa mendobrak kesulitan kita untuk menulis.
Aku pernah melakukan apa yang disarankan pegawai di penerbit Mizan itu. Awalnya memang sulit. Aku bahkan menulis ‘saya tidak tahu harus menulis apa’ di hampir seluruh tulisan di buku harian. Tapi dari situ, lama-kelamaan entah dari mana ada saja ide untuk menulis ini, menulis itu, dan sebagainya. Makanya, saran Hernowo ini rupanya cukup ampuh buatku.
Di awal-awal menerapkan pelajaran dari pria kelahiran Magelang (kebetulan sama dengan daerah asalku) itu, saya pernah menulis ‘saya tidak tahu harus menulis apa’ sebanyak satu halaman. Dari situ hingga bisa menulis tanpa harus diawali ‘saya tidak tahu harus menulis apa’, sekarang sudah terkumpul tiga buku harian yang semuanya ditulis dalam bentuk soft copy. Bahkan, buku harian itu saya namakan Jejak 1, Jejak 2, dan Jejak 3. Isi ketiga buku itu hanyalah persoalan sehari-hari yang ringan dan yang dialami setiap hari.
Meski cuma berisi tulisan-tulisan ringan, ada perasaan bangga begitu tulisan itu dicetak dan dijilid. Rasanya seperti menghasilkan sebuah buku lalu dicetak sendiri. Namanya juga sederhana, kumpulan tulisan itu akhirnya dicetak menggunakan printer di atas kertas ukuran A4 yang dibagi dua. Setiap halaman dari kertas tersebut diisi tulisan ringan tersebut. Setelah itu dijilid. Untuk menambah keren, saya juga selipkan kata pengantar di setiap buku itu. Sekarang, buku itu tersimpan dengan rapi.
Untuk teknik yang satu ini, aku jarang menerapkannya. Kayaknya kurang cocok denganku. Apalagi, menurutku, cara itu lebih njelimet. Akhirnya cara pertamalah yang sering aku gunakan.
*) Tulisan ini merupakan hadiah 1 untuk kelas Sekolah Menulis Online (SMO) yang aku ikuti.
No comments:
Post a Comment