Tuesday, December 30, 2008

Maryamah Karpov: Pencapaian Akhir Pemuda Belitung

Judul Buku : Maryamah Karpov: Mimpi-mimpi Lintang
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Terbit : Desember 2008
Halaman : 504



Novel Maryamah Karpov menjadi buku pamungkas sekaligus penutup dari tetralogi Laskar Pelangi. Tiga buku sebelumnya, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor, telah sukses merebut perhatian masyarakat Indonesia. Bahkan, novel Laskar Pelangi naik ke layar lebar dan berhasil meraih kesuksesan.

Kehadiran novel terakhir karya Andrea Hirata ini untuk menjawab rasa penasaran pembaca mengenai akhir cerita dari Laskar Pelangi, khususnya mengenai kisah cinta Ikal terhadap Aling. Inilah yang menjadi inti sari dari novel ini. Ini pula yang menggambarkan pencapaian akhir pemuda Belitung yang menuntut ilmu di Perancis dan Inggris dalam upayanya mencari cinta.

Hampir tiga perempat dari buku setebal 504 halaman ini menceritakan upaya Ikal menemukan dambaan hatinya itu. Setelah mendapatkan dua orang mayat yang terdampar di Pantai Belitung dan diidentifikasi warga Tionghoa, Ikal menaruh curiga terhadap jenazah tersebut. Apalagi, kedua mayat tersebut memiliki tato kupu-kupu hitam, yang ternyata juga dimiliki oleh keluarga Aling.

Karena itulah, Ikal, yang belum bekerja sekembalinya dari Perancis dan juga karena terdorong rasa cinta yang menggebu, memutuskan untuk mencari Aling. Namun, itu tidak mudah. Sebab, mayat yang terdampar diduga terbunuh oleh perompak yang menguasai Laut Cina Selatan. Apalagi, di wilayah tersebut ada pulau bernama Batuan—pintu masuk ke Singapura bagi pendatang gelap Indonesia—yang dipenuhi aura mistis. Ikal menduga Aling berada di pulau tersebut.

Rasa cinta yang besar dan penasaran yang membuncah membuat Ikal tak peduli dengan keadaan tersebut. Ikal tetap berniat mencari Aling di pulau Batuan. Caranya, Ikal membuat perahu bernama Mimpi-Mimpi Lintang untuk menuju ke sana. Di sinilah kejeniusan Lintang kembali dihadirkan Andrea.

Kawan dan Budaya
Melalui Maryamah Karpov, Andrea juga menampilkan kembali anggota Laskar Pelangi dan Societeit pimpinan Mahar. Begitu pula dengan paranormal Tuk Bayan Tula dan kisah klenik di dalamnya yang membumbui perjalanan panjang Ikal menemukan Aling. Kisah Bang Zaitun, artis kampung beristri banyak yang kini menjadi sopir angkutan, juga ditampilkan untuk menyegarkan novel ini.

Novel ini mengingatkan pula sosok Mak Cik Maryamah, wanita setengah baya yang ingin barter beras dan biola dengan ibu Ikal dalam Sang Pemimpi. Nurmi, anak Mak Cik Maryamah, yang pandai bermain biola juga dihadirkan. Namun, kehadirannya tidak memberikan esensi cerita apa-apa. Entah mengapa Andrea memilih dua sosok ini untuk dijadikan judul novel terakhirnya ini.

Yang menarik, budaya warga Belitung juga dihadirkan untuk menjatuhkan mental Ikal menemui Aling. Warga Belitung digambarkan senang bertaruh. Tindakan Ikal yang ingin membuat perahu untuk mencapai Pulau Batuan, kemungkinan keberhasilan mengangkat perahu peninggalan zaman kolonial, hingga masalah sepele tentang kesediaan Ikal berobat ke dokter gigi menjadi ajang taruhan warga Belitung.

Kehadiran dokter gigi menggantikan dukun gigi di pulau Belitung sepertinya hal baru bagi kehidupan warga Belitung. Sebelumnya masyarakat Belitung lebih percaya dukun gigi daripada dokter. Ini seolah menggambarkan sisi primitif warga Belitung.

Pemberian nama warga Belitung dalam novel ini juga cukup unik. Andrea memberikan nama-nama tersebut berdasarkan tabiat dan perilaku ataupun pekerjaan masing-masing tokoh. Misalnya ada Marsanip Sopir Ambulans, Modin Mahligai, Berahim Harap Tenang Yunior, Rustam Simpan Pinjam, Munawir Berita Buruk, dan sebagainya.

Permainan Emosi
Maryamah Karpov tidak kalah seru dibandingkan dengan tiga buku sebelumnya. Alur cerita yang mengalir serta dibumbui rangkaian kata puitis dan bahasa sains membungkus permainan emosi yang disodorkan Andrea. Pembaca dibiarkan tertawa, tersenyum, tegang, berpikir, bahkan sedih terharu.

Di awal cerita, disuguhkan perasaan haru-biru. Andea dengan bahasa yang mendayu-dayu mengajak pembaca menyelamai perasaan ayah Ikal yang sumringah karena akan naik jabatan. Namun, ternyata surat pengangkatan jabatan itu salah alamat. Ayah Ikal tetap menjadi buruh rendahan. Di balik tirai, Ikal pun menangis.

Andrea pun membawa pembaca merasakan ketegangan saat Ikal menghadapi detik-detik ujian tesis S2. Andrea juga mengajak pembaca ke suasana kocak ketika menceritakan keruwetan berada di kapal Lawit dari Jakarta menuju Pulau Belitung. Begitu juga saat di mobil angkutan Bang Zaitun, penyambutan Dokter Diaz, serta ketika Mahar dan Tuk Bayan Tula beradu kekuatan. Jadinya, novel ini cukup mengasyikkan ketika dibaca.

7 comments:

  1. Anonymous10:31

    Saya harap anda jangan menerjemahkan apa yang ditulis Andrea Hirata secara apa adanya. Kadang memang Andrea suka menulis metafora orang Indonesia, bahkan manusia pada umumnya, bukan hanya orang belitung. contoh soal dokter gigi. orang dibelahan dunia manapun yang dulunya selalu ke dukun gigi akan kaget bertemu dokter gigi, dan setahu saya seprimitifnya masyarakat Belitung lebih dari sekedar cukup modern untuk hanya kenal dokter gigi di tahun 70-an (setting cerita). mungkin ini hanya sekedar metafora orang kampung ketemu budaya modern.

    Orang Belitung suka bertaruh? Wah yang ini saya dgn tegas mengatakan apa yg ditulis Andrea hanya sekedar fiksi. Budaya masyarakat Belitung yang nyata2 kurang bagus menurut saya bukan bertaruh melainkan budaya suka ngomongin orang alias bergosip aka bergunjing (kayaknya sih sebagian besar masyarakat Indonesia punya sifat "kekeluargaan" beginian). Namanya juga semi fiksi, yang ini jelas2 cuma buat bumbu cerita.

    Mengenai pemberian nama, ini kayaknya Andrea mempesonifikasi kebiasaan orang Indonesia pada umumnya. Contoh saja orang Sunda yang namanya Asep atau Tatang lumayan banyak, untuk pembeda pasti aja ada nama poyokan seperti Asep Poho (karena pelupa), Tatang Hideung (krn item), atau yg umum Iwan jawa, Iwan sunda dan Iwan batak (saking banyak nama Iwan).

    O iya, saya sendiri lahir dan besar di Belitung. Bapak saya jg pegawai rendahan PT. Timah yg tinggal di kampung. Karena itu saya sedikit memahami apa2 yg ditulis Andrea Hirata ada yg bersifat fiksi, ada yg metafora (kadang hiperbola), dan ada jg pengalaman pribadi pengarang.

    ReplyDelete
  2. Anonymous16:12

    Mungkin lebih baiknya begini:


    Sebagai orang asli Melayu, Andrea Hirata tanpa malu menggambarkan karakter orang Melayu sebagai kumpulan orang-orang yang suka membual, bergunjing, dan menghabiskan waktu dengan bersantai di warung kopi. Dengan kata lain, kurang produktif dan suka usil dengan urusan orang lain. Tapi, positifnya, mereka berjiwa moderat.

    Mereka juga suku menjuluki orang berdasarkan kebiasaan atau tabiatnya. Ada yang namanya Kamsir si Buta dari Gua Hantu, Berahim Harap Tenang, Zainul Helikopter, dan Muharam Buku Gambar.

    Sebagai etnik mayoritas, orang Melayu digambarkan punya sifat kekal, yakni sangat skeptis: tidak gampang percaya pada apa pun, siapa pun, dan cenderung tidak mau berubah. Mereka betah sekali dalam rutinitas dan apa adanya. (hal 163)

    Karakter seperti itu berdampak pada sambutan mereka atas kehadiran seorang dokter gigi cantik bernama Budi Ardiaz Tanuwijaya. Karena sudah terbiasa berobat pada dukun gigi, dan percaya dengan kemanjurannya, susah sekali meyakinkan mereka untuk mau berobat ke dokter gigi. Butuh waktu dan kesabaran untuk meyakinkan mereka supaya mau berobat ke dokter gigi.

    ReplyDelete
  3. Anonymous15:36

    Saya sendiri orang belitung kampung, jadi saya sepenuhnya setuju dengan tulisan anonim pertama.

    Mengenai anonim kedua, memang betul sifat orang melayu belitung yg kurang produktif dan suka usil sama urusan orang. Saya sendiri dari kecil memang sering melihat orang muda sampai kakek2 suka nongkrong minum kopi sambil ngobrol dari urusan bisnis sahang (lada dlm bhs belitung) hingga politik dunia semacam hasil pemilu di amerika. Hal ini juga sepertinya berlaku buat saya (tempat nongkrongnya diganti dgn nge-blog, termasuk bikin komen omong kosong kayak beginian)

    Ttg panggilan orang lebih karena ada orang yg bernama yang lebih banyak dari satu. Ada juga kasus nama panggilan karena status dlm keluarga, misalnya karena anak sulung dipanggil Long, anak bungsu dipanggil Busu, kakaknya si bungsu (no 2 dr bawah) dipanggil pak cik/mak cik, Ute (krn putih), anjang (krn tinggi), dll. Tidak ada spesifikasi khusus krn tabiat, pekerjaan, atau yg lain. Asal tau saja, orang yg suka berbohong di belitung sering dipanggil ki' bera karena dulu ada aki2 yg bernama Ibrahim yg tukang bo'ong nya ngetop sejagat belitung.
    Ki'= Kakik (kakek) dan Bera (Bera-him, panggilan untuk Ibrahim seperti juga Deris=Idris, Semael alias Meng=Ismail dll)

    Kayaknya karakter skeptis banyak ditemukan di seluruh pelosok Indonesia. mungkin ini lebih karena sifat orang2 etnis polynesia, bukan suku.

    Tentang sifat moderat, saya jadi bertanya2 apa karena hal ini organisasi Muhammadiyah jauh berkembang lebih pesat di belitung daripada NU yang notabene lebih konservatif???

    ReplyDelete
  4. Wah, ternyata tulisan ini mendapat sambutan yang cukup beragam, baik berupa kritik maupun saran. Saya tak menyangka.

    Terlepas dari itu, ternyata apa yang saya tulis menyinggung pembaca. Saya akui saya salah karena tidak teliti untuk membaca buku ini lebih serius. Namun begitu, ini merupakan pelajaran buat saya agar dapat menulis lebih baik lagi.

    Dan untuk pembaca yang merasa tidak enak hati, saya mohon maaf. Setidaknya ini pelajaran buat saya. Rupanya, saya juga harus mempelajari unsur sosiologi dari buku ini.

    Sekali lagi terima kasih dan mohon maaf sebesar-besarnya.

    ReplyDelete
  5. Anonymous19:24

    Yang saya tulis diatas itu cuma buat nambahin tulisan mas eko aja koq.

    Tambahan dikit ttg sikap skeptis yang kekal. Ini kayaknya belum hilang dari para pemimpin negara ini.

    Tidak gampang percaya pada apa pun, siapa pun, termasuk kaum muda untuk mengantikan mereka yang sudah lumutan di pemerintahan.

    Cenderung tidak mau berubah. Mereka betah sekali dalam rutinitas dan apa adanya.Termasuk rutinitas jadi pemimpin (gak mau dipimpin) dan rutinitas hidup enak (gak mau susah dibawah), hehehehe......

    (kayaknya yang dipemerintahan bukan cuma melayu doang, udah campuran dari sabang sampai merauke tuh). sori deh ngelantur jadinya....

    ReplyDelete
  6. Anonymous14:03

    terus terang aku gak baca. sok gak punya waktu baca fiksi, kebanyakan tugas baca dari dosen buat buku2 kuliah... :p
    BTW, keep on posting, siapa tahu ada novel bagus yang membuat saya tertarik baca.
    lagi stress nih, bioskop 21 makin dodol saja film2nya. gak ada satupun nominasi oscar yang masuk.

    ReplyDelete
  7. Anonymous16:17

    Tuk mas yusahrizal makasih tuk masukannya. jadi tambah 'bunyi' nih resensi bukunya, meski masih pemula tuk bikin kayak gitu. makanya masih banyak yang kurang baik.

    Tuk Semuareview, mudah-mudahan nemu novel yang menarik. atau anda yang malah nemu ya. :)

    ReplyDelete