Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Terbit : Desember 2008
Halaman : 504

Novel Maryamah Karpov menjadi buku pamungkas sekaligus penutup dari tetralogi Laskar Pelangi. Tiga buku sebelumnya, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor, telah sukses merebut perhatian masyarakat Indonesia. Bahkan, novel Laskar Pelangi naik ke layar lebar dan berhasil meraih kesuksesan.
Kehadiran novel terakhir karya Andrea Hirata ini untuk menjawab rasa penasaran pembaca mengenai akhir cerita dari Laskar Pelangi, khususnya mengenai kisah cinta Ikal terhadap Aling. Inilah yang menjadi inti sari dari novel ini. Ini pula yang menggambarkan pencapaian akhir pemuda Belitung yang menuntut ilmu di Perancis dan Inggris dalam upayanya mencari cinta.
Hampir tiga perempat dari buku setebal 504 halaman ini menceritakan upaya Ikal menemukan dambaan hatinya itu. Setelah mendapatkan dua orang mayat yang terdampar di Pantai Belitung dan diidentifikasi warga Tionghoa, Ikal menaruh curiga terhadap jenazah tersebut. Apalagi, kedua mayat tersebut memiliki tato kupu-kupu hitam, yang ternyata juga dimiliki oleh keluarga Aling.
Karena itulah, Ikal, yang belum bekerja sekembalinya dari Perancis dan juga karena terdorong rasa cinta yang menggebu, memutuskan untuk mencari Aling. Namun, itu tidak mudah. Sebab, mayat yang terdampar diduga terbunuh oleh perompak yang menguasai Laut Cina Selatan. Apalagi, di wilayah tersebut ada pulau bernama Batuan—pintu masuk ke Singapura bagi pendatang gelap Indonesia—yang dipenuhi aura mistis. Ikal menduga Aling berada di pulau tersebut.
Rasa cinta yang besar dan penasaran yang membuncah membuat Ikal tak peduli dengan keadaan tersebut. Ikal tetap berniat mencari Aling di pulau Batuan. Caranya, Ikal membuat perahu bernama Mimpi-Mimpi Lintang untuk menuju ke sana. Di sinilah kejeniusan Lintang kembali dihadirkan Andrea.
Kawan dan Budaya
Melalui Maryamah Karpov, Andrea juga menampilkan kembali anggota Laskar Pelangi dan Societeit pimpinan Mahar. Begitu pula dengan paranormal Tuk Bayan Tula dan kisah klenik di dalamnya yang membumbui perjalanan panjang Ikal menemukan Aling. Kisah Bang Zaitun, artis kampung beristri banyak yang kini menjadi sopir angkutan, juga ditampilkan untuk menyegarkan novel ini.
Novel ini mengingatkan pula sosok Mak Cik Maryamah, wanita setengah baya yang ingin barter beras dan biola dengan ibu Ikal dalam Sang Pemimpi. Nurmi, anak Mak Cik Maryamah, yang pandai bermain biola juga dihadirkan. Namun, kehadirannya tidak memberikan esensi cerita apa-apa. Entah mengapa Andrea memilih dua sosok ini untuk dijadikan judul novel terakhirnya ini.
Yang menarik, budaya warga Belitung juga dihadirkan untuk menjatuhkan mental Ikal menemui Aling. Warga Belitung digambarkan senang bertaruh. Tindakan Ikal yang ingin membuat perahu untuk mencapai Pulau Batuan, kemungkinan keberhasilan mengangkat perahu peninggalan zaman kolonial, hingga masalah sepele tentang kesediaan Ikal berobat ke dokter gigi menjadi ajang taruhan warga Belitung.
Kehadiran dokter gigi menggantikan dukun gigi di pulau Belitung sepertinya hal baru bagi kehidupan warga Belitung. Sebelumnya masyarakat Belitung lebih percaya dukun gigi daripada dokter. Ini seolah menggambarkan sisi primitif warga Belitung.
Pemberian nama warga Belitung dalam novel ini juga cukup unik. Andrea memberikan nama-nama tersebut berdasarkan tabiat dan perilaku ataupun pekerjaan masing-masing tokoh. Misalnya ada Marsanip Sopir Ambulans, Modin Mahligai, Berahim Harap Tenang Yunior, Rustam Simpan Pinjam, Munawir Berita Buruk, dan sebagainya.
Permainan Emosi
Maryamah Karpov tidak kalah seru dibandingkan dengan tiga buku sebelumnya. Alur cerita yang mengalir serta dibumbui rangkaian kata puitis dan bahasa sains membungkus permainan emosi yang disodorkan Andrea. Pembaca dibiarkan tertawa, tersenyum, tegang, berpikir, bahkan sedih terharu.
Di awal cerita, disuguhkan perasaan haru-biru. Andea dengan bahasa yang mendayu-dayu mengajak pembaca menyelamai perasaan ayah Ikal yang sumringah karena akan naik jabatan. Namun, ternyata surat pengangkatan jabatan itu salah alamat. Ayah Ikal tetap menjadi buruh rendahan. Di balik tirai, Ikal pun menangis.
Andrea pun membawa pembaca merasakan ketegangan saat Ikal menghadapi detik-detik ujian tesis S2. Andrea juga mengajak pembaca ke suasana kocak ketika menceritakan keruwetan berada di kapal Lawit dari Jakarta menuju Pulau Belitung. Begitu juga saat di mobil angkutan Bang Zaitun, penyambutan Dokter Diaz, serta ketika Mahar dan Tuk Bayan Tula beradu kekuatan. Jadinya, novel ini cukup mengasyikkan ketika dibaca.