Friday, January 30, 2009

Kisah Bayi yang Terlahir Tua

Judul Film : The Case of Curious Benjamin Button
Genre : Drama
Pemain : Brad Pitt, Cate Blanchett, Taraji P Henson, Julia Ormond, Jason Flemyng, Tilda Swinton, Joanna Sayler
Sutradara : David Fincher
Produksi : Paramount Pictures dan Warner Bros
Durasi : 166 menit
Rating : 5/5


Di malam perayaan berakhirnya Perang Dunia I atau sekitar tahun 1918, seorang bayi terlahir dengan kelainan fisik. Tubuhnya keriput, menyerupai lelaki tua yang berumur 80 tahun. Ibu bayi tersebut meninggal, sedangkan ayahnya, Thomas Button (Jason Flemyng), malah membuang bayi tersebut karena dianggap monster.

Beruntung bayi tersebut diselamatkan Queenie (Taraji P Henson), perawat di sebuah panti jompo. Menurut dokter yang dipanggil Queenie, bayi tersebut mengidap penyakit langka. Umur bayi itu tak akan lama. Namun, perkiraan tersebut salah. Bayi bernama Benjamin (Brad Pitt) itu dapat bertahan hidup dan tinggal di panti jompo.

Hari demi hari kondisi Benjamin tampak lebih bugar dibanding penghuni panti lainnya. Meski wajahnya masih terlihat renta, perilaku Benjamin mirip seorang anak kecil yang ingin mengetahui banyak hal. Karena itu, ia pernah diajar bermain piano oleh salah satu penghuni panti.

Salah satu cucu dari penghuni panti, Daisy menjadi teman Benjamin setiap akhir pekan. Kehidupan Benjamin makin hidup. Kendati Benjamin terlihat tua, Daisy justru melihat ada sesuatu yang istimewa di diri Benjamin.

Suatu saat, Benjamin bermain di pelabuhan. Sampai akhirnya, Kapten Mike mencari anak buah kapal. Benjamin pun melamar untuk bekerja di kapal tersebut. Hal itu justru membawa Benjamin berkeliling dunia. Bahkan, mulai mengenal seks dan terpikat kecantikan Elizabeth Abbots, istri menteri luar negeri Inggris. Benjamin juga ikut Perang Dunia II.

Setelah itu, Benjamin bertemu Queenie dan Daisy (Cate Blanchett) yang telah dewasa dan cantik serta menjadi penari balet. Benjamin juga tampak lebih muda dari sebelumnya. Sampai akhirnya Benjamin berkenalan dengan Thomas, ayah yang membuangnya. Ketika Thomas meninggal, Benjamin mendapatkan banyak warisan, mulai dari pabrik kancing, rumah mewah di tengah kota dan pinggir pantai, serta perahu layar.

Akan tetapi, setelah Queenie meninggal, pria yang hidup makin muda itu akhirnya menikah dengan Daisy dan menghasilkan seorang putri yang cantik. Caroline namanya.

Kini, di sebuah rumah sakit, Caroline (Julia Ormond) diminta Daisy—yang sedang menanti ajal karena penyakit gula—untuk membacakan buku harian milik Benjamin. Diiringi badai katarina yang siap menyerang, lembaran-lembaran buku yang dibaca Caroline menjadi perpindahan adegan ke kehidupan Benjamin di masa lampau.

Penggunaan alur flashback itu digarap apik oleh David Fincher, sang sutradara. Penonton diajak memasuki tiap sendi kehidupan Benjamin yang akhirnya meninggal dalam kondisi bayi. Setiap adegan yang diperlihatkan Fincher menghadirkan sinematografi yang indah dan memanjakan mata, khususnya ketika Benjamin dan Daisy memadu kasih di kapal layarnya.

Hal menarik lain dari film yang mengadaptasi cerita pendek karya F Scott Fitzgerald dalam bukunya Tales of the Jazz Age (1921) itu adalah tata rias yang hampir sempurna. Penampilan Brad Pitt dan Cate Blanchett untuk menunjukkan masanya sungguh nyata. Itu tentu dibantu dengan penggunaan teknologi dan efek visual yang amat maksimal, sehingga mampu menghadirkan tampilan fisik Brad maupun Cate yang nyata.

Untuk menghadirkan hal tersebut, Fincher bahkan menggunakan tujuh aktor untuk memerankan Benjamin tua hingga muda. Mereka adalah Peter Badalamenti, Robert Tower, Tom Everrett, Spencer Daniels, Chandler Canterbury, dan Charles Henry Wyson. Brad hanya memberikan wajahnya untuk dipadukan dengan tubuh ketujuh orang tersebut. Brad Pitt benar-benar tampil utuh ketika adegan di kapal saat salju menerpa.

Tak heran, untuk kategori tata rias dan efek visual film ini masuk nominasi Oscar 2008. lebih dari itu, film ini juga dinominasikan untuk kategori sinematografi, rancangan kostum, film terbaik, aktor terbaik, aktris pendukung terbaik, artistik, sutradara, penata musik, editing, penata suara, dan skenario.

Pada akhirnya, film yang diakui Fincher cukup lama dalam proses penggarapannya, yakni sejak 2003, ini mencoba mengajak penonton becermin betapa hidup adalah sebuah proses yang harus dilewati. Diawali dari proses kelahiran, hingga mencapai proses kematian. Cinta dan perjuangan hidup menemukan identitas diri juga menjadi bagian yang menarik untuk disimak.

Wednesday, January 28, 2009

Mengangkat Kisah Anak Jalanan

Judul Film : Sepuluh
Genre : Drama
Pemain : Rachael Maryam, Ari Wibowo, August Melasz, Keke Harun, Yofana, Gesar, Prana, Mario Tanzala
Sutradara : Henry Riady
Produksi : First Media Production
Durasi : 120 menit
Rating : 2/5

Nasib anak jalanan diangkat dalam film perdana Henry Riady berjudul Sepuluh. Potret kehidupan anak jalanan yang dibayang-bayangi berbagai kejahatan seperti penculikan, pelecehan seksual, narkoba, dan perdagangan organ tubuh diungkap dengan gamblang dalam film produksi First Media Production ini.

Namun, pengungkapan kisah anak jalanan tersebut diambil dari pandangan seorang wanita bernama Yanti (Rachael Maryam). Sepuluh tahun lalu Yanti kehilangan anak kandung yang dijual oleh suaminya, Aditya (Mario Tanzala) demi mendapatkan narkoba. Karena ulah Aditya pula, Yanti harus meringkuk di tahanan karena ditemukan narkoba di rumahnya.

Sepuluh tahun berlalu, Yanti berupaya untuk mencari anaknya yang hilang. Ia mendatangi rumah orangtua Aditya. Namun, sia-sia. Tak ada kabar anaknya. Malah dia diusir oleh ibu Aditya.

Untuk menjalani hidup, Yanti bekerja sebagai buruh cuci pakaian di perkampungan kumuh di Jakarta. Sampai suatu ketika, Yanti memergoki Mongki (Yofana) yang sedang dipukuli. Mongki rupanya anak jalanan yang diawasi oleh Dargo (August Melasz), preman yang membeli Mongki dari Aditya.


Akhirnya, Yanti menolong Mongki dan merawatnya. Dari situ, hubungan Yanti dan Mongki makin akrab. Sampai akhirnya, Yanti bercerita bahwa anaknya yang bernama Maria hilang sejak sepuluh tahun lalu. Mongki sebetulnya anak Yanti yang hilang itu.

Seiring berjalannya waktu, Yanti sadar akan adanya eksploitasi anak dan penjualan organ secara ilegal yang dilakukan Dargo. Satu per satu anak jalanan yang ada di bawah pengawasan Dargo menghilang. Termasuk, sahabat Mongki, Darius (prana). Itu membuat Yanti takut kehilangan Mongki.

Sementara itu, mantan kekasih Yanti, Thomas (Ari Wibowo), juga takut kehilangan anaknya, David (Gesar), karena sakit ginjal. Ketika David harus segera dioperasi, Thomas menghubungi Dargo untuk mendapatkan ginjal bagi anaknya. Dargo pun memberikan Mongki.

Alur Lambat
Penggunaan alur dalam film ini cukup lambat. Akibatnya, film yang durasinya sekitar 120 menit terkesan bertele-tele. Penonton pun dibuat bosan dari alur yang lambat dan pelan ini. Mungkin alur ini ingin mempertegas suasana yang dibangun. Misalnya soal bagaimana pahitnya perasaan Yanti ketika harus hidup sendiri karena Aditya meninggal dan Maria belum juga ditemukan. Hanya foto-foto Maria dan kotak musik sebagai obat kesendiriannya.

Alur lambat tersebut dikarenakan ada beberapa tokoh yang kehadirannya justru tidak penting. Bahkan, tidak dapat membangun jalannya cerita. Seperti kemunculan tetangga Aditya yang mengabarkan bahwa kehadiran Yanti diperlukan Aditya. Jika tokoh ini memang perlu dihadirkan, setidaknya tidak tiba-tiba hadir kemudian tak muncul lagi di adegan selanjutnya. Ada pula tokoh Plontos yang tak memberikan arti apa-apa.

Akibat menggunakan alur yang lambat justru menimbulkan keganjilan dalam pengadegan. Misalnya, Yanti yang hidup sebagai buruh cuci malah bisa membelikan Mongki dan Darius baju baru di supermarket besar. Penggunaan telepon genggam juga terasa ganjil karena hanya ada untuk mengabarkan bahwa Aditya membutuhkan Yanti. Begitu pula ketika Dargo berhasil masuk ke rumah sakit dan menyandera Mongki. Padahal, dia sedang diburu oleh kepolisian.

Terlepas dari itu, musik pengiring yang dibuat Addie MS berhasil mengungkapkan suasana yang ingin dibangun. Alunan musik yang ada terasa pas dengan suasana yang terjadi. Ini salah satu kelebihan film yang mulai diputar tanggal 5 Februari 2009 dan menghabiskan dana Rp 12,7 miliar.

Di samping itu, pemilihan tema dalam film ini perlu diapresiasi. Sebab, tema yang mengangkat permasalahan anak jalanan jarang diungkap ke layar lebar. Apalagi, di balik kehidupan anak jalanan ada banyak kejahatan yang mengancam. Karena itulah, Henry yang baru pertama kali membuat film ini ingin mengajak masyarakat berbuat sesuatu untuk anak jalanan seperti yang ditunjukkan Thomas di akhir film.

Kisah Perebutan Tempat Nikah Dua Sahabat

Judul Film : Bride Wars
Genre : Drama komedi
Pemain : Anna Hathaway, Kate Hudson, Bryan Greenberg, Chris Pratt, Steve Howey, Candice Bergen
Sutradara : Gary Winick
Produksi : Fox 2000 Pictures
Durasi : 96 menit
Rating : 3/5

Kekuatan persahabatan menjadi nilai jual dalam film ini. Meski pada pertengahan cerita dua bintang utama saling berselisih pendapat karena memperebutkan tempat dan waktu pernikahan, akhirnya mereka saling memahami satu sama lain.

Emma (Anna Hathaway) dan Liv (Kate Hudson) menjadi bintang utama dalam film ini. Emma dan Liv sudah lama bersahabat sejak kecil. Mereka memiliki impian yang sama, yaitu menikah pada bulan Juni di The Plaza, gedung mewah yang amat terkenal dan bergengsi untuk melangsungkan pernikahan.

Masalah mulai berkembang ketika Emma dilamar oleh kekasihnya, Fletcher (Chris Pratt). Padahal, selama ini Liv selalu mengatakan kepada teman-temannya bahwa dia akan dilamar oleh Nate (Bryan Greenberg) setelah menemukan kotak cincin di lemari Nate.

Liv yang malu akhirnya meminta Nate untuk segera melamarnya. Nate pun melamar Liv. Karena sama-sama dilamar dan pernikahan segera diselenggarakan, Emma dan Liv mendatangi perencana pernikahan Marion St Claire (Candice Bergen). Mereka meminta pernikahannya dilakukan di The Plaza pada bulan Juni dan tidak bersamaan.

Awalnya ada tiga hari yang kosong untuk menyelenggarakan pernikahan di The Plaza. Namun, karena kesalahan administrasi karyawan Marion, hanya ada satu hari yang tersisa. Emma dan Liv pun kebingungan karena mereka bertekad ingin nikah tempat tersebut pada bulan Juni. Apalagi, Emma ingin hadir di hari bersejarah sahabatnya itu. begitu pula Liv.

Akhirnya mereka membujuk calon pengantin yang mengambil jatah hari pernikahan Emma dan Liv. Upaya itu tidak berhasil. Mereka pun memutuskan bahwa salah satu dari mereka harus ada yang mengalah untuk menikah di hari yang lain dan tidak di The Plaza.

Sayangnya, keduanya tidak ada yang mau mengalah. Mereka pun bertengkar. Upaya-upaya untuk menggagalkan pernikahan dilakukan kedua belah pihak. Misalnya, membuat biru rambut Liv, mencokelatkan warna kulit Emma, hingga membeberkan rahasia besar Emma.

Kendati tema dalam film ini sudah umum, Greg DePaul dan Casey Wilson yang menulis skenario berdurasi 96 menit ini cukup menghibur. Apalagi, dalam perebutan tempat dan waktu pernikahan Emma dan Liv disodori pula adegan konyol sebagai bumbu agar film ini menarik. Dengan begitu, tema film persahabatan yang diangkat tidak basi. Apalagi dikemas pada saat acara pernikahan yang sebetulnya amat sakral.

Dari sisi penceritaan pun, kedua penulis skenario ini mengembangkan alur cerita secara konvensional. Artinya, permasalahan dalam film ini dibuat sesuai alur yang semestinya yang dimulai dengan munculnya masalah, kemudian masalah makin berkembang hingga terjadi klimaks menjelang akhir film. Melalui alur demikian, tema film ini dapat disampaikan ke hati penonton.

Perbedaan karakter kedua sahabat yang akan menikah ini juga digambarkan dengan baik oleh sutradara Gary Winick. Dalam film ini, Emma yang menjadi guru, memiliki kepribadian yang selalu bersimpati terhadap orang lain. Emma lebih memikirkan orang lain dibandingkan dirinya. Adapun Liv kebalikan dari Emma. Dia tak mau memikirkan orang lain. Namun, karena perselisihan tersebut, baik Liv maupun Emma justru menyadari bahwa persahabatan itu penting bagi mereka. Liv juga akan mengubah sifatnya untuk lebih peduli lagi terhadap orang lain.

Sayangnya, di film ada sedikit ganjalan yang tak enak di akhir cerita. Setelah rahasia besarnya terbongkar, Emma tidak jadi menikah dengan Fletcher. Emma ternyata menikah dengan adik Liv, Daniel (Steve Howey), setelah beberapa lama berselang. Kendati sejak awal cerita Daniel kerap muncul dan terlihat akrab dengan sahabat kakaknya, itu tidak menimbulkan ketertarikan antara Emma dan Daniel. Tidak ada chemistry yang menunjukkan kepada penonton bahwa keduanya tertarik.

Monday, January 19, 2009

Virus Pengancam Peradaban Manusia

Judul Film : Doomsday
Genre : Thriller
Pemain : Rhona Mitra, Bob Hoskins, Alexander Shiddiq, David O’Hara, Craig Conway, Darren Moffit, Malcom McDowel
Sutradara : Neil Marshall
Produksi : Rogue Pictures
Durasi : 105 menit
Rating : 2,5/5


Pada Juni 2008 di Glasgow, Skotlandia, virus menyebar layaknya angin. Tubuh manusia yang terpapar virus akan timbul banyak benjolan. Dan lama-kelamaan akan membengkak lalu mati.

Jutaan manusia terjangkiti virus tersebut. Manusia yang belum terkena virus berupaya mencari perlindungan dengan menyeberang ke wilayah perbatasan Inggris. Namun, mereka terhalang karena perbatasan ditutup. Pemerintahan Inggris lalu membangun benteng sepanjang perbatasan dengan dilengkapi ranjau. Itu dilakukan agar orang Skotlandia tidak ada orang yang menyeberang dan menyebarkan virus. Skotlandia pun menjadi wilayah zona merah untuk karantina.

Beberapa tahun berselang, tepatnya tahun 2035, virus itu mulai menjalar di Inggris. Perdana Menteri John Hatcher (Alexander Shiddiq) memerintahkan Menteri Pertahanan Michael Canaris (David O’Hara) mengirim tim untuk mencari vaksin virus tersebut. Apalagi, di Skotlandia masih ada orang yang hidup dan kebal dari ancaman virus misterius tersebut.

Akhirnya dipilihlah Eden Sinclair (Rhona Mitra), salah satu polisi yang andal, untuk memimpin tim pencari vaksin penangkal virus. Berdasarkan informasi yang diperoleh, mereka harus membawa Dr Markus Kane (Malcom McDowel) yang diduga menemukan vaksin tersebut.

Akan tetapi, upaya mencari Dr Markus Kane tidaklah mudah. Sejak masuk ke zona karantina, Sinclair beserta timnya harus mengalami banyak rintangan. Anggota timnya pun banyak yang tewas karena diserang gerombolan Sol (Craig Conway). Belum lagi dengan perlawanan orang-orang Dr Markus Kane.

Sadisme
Film yang telah dirilis sekitar bulan Maret 2008 ini sebetulnya biasa saja. Tak ada cerita yang menarik ataupun menyentuh hati penonton. Namun, bukan berarti film ini tak menghadirkan tontonan yang menarik.

Bagi penggemar film thriller penuh aksi kejar-kejaran dan berkelahi pantas melihat film ini. Namun, penonton harus tahan menyaksikan beberapa adegan yang menghadirkan aksi terlalu ekstrem. Bahkan bisa dibilang adegan penuh sadisme. Misalnya, adegan yang memperlihatkan tubuh manusia dibakar kemudian disantap manusia lainnya. Ada juga adegan mengangkat kepala manusia dan tubuh manusia yang hancur karena kecelakaan. Sepertinya, film ini tak cocok disaksikan oleh anak-anak.

Adegan penuh tindakan sadisme itu mulai terlihat ketika Sinclair masuk ke zona merah. Zona yang awalnya tampak tak berpenghuni itu justru ada sekelompok manusia yang berpenampilan mirip preman. Kelompok manusia itu umumnya berambut ala Mohawk, anting yang ditindik di sekujur tubuh, dan rantai yang menjulur di celana cungkring. Penampilan kelompok yang dipimpin Sol itu setidaknya menggambarkan sebuah peradaban yang tidak teratur, brutal, dan urakan.

Sementara itu, orang-orang Dr Kane justru terlihat seperti masa kerajaan di Eropa zaman dulu. Mereka terlihat lebih natural dan alami dengan hidup di tengah hutan. Akan tetapi, kelompok ini menyimpan kejahatan di dalamnya. Kelompok inilah yang bertahan dari ancaman virus itu.

Sayangnya, sudut penceritaan film ini tak menarik. Neil Marshal, penulis naskah dan sutradara film ini, hanya menyodorkan aksi penuh kejahatan. Pesan yang disampaikan pun dangkal, yaitu mengajak untuk peduli dan saling bantu, tetapi dikemas dalam adegan penuh kejahatan.

Penggarapannya pun terkesan aneh dan dilebih-lebihkan untuk mengangkat realitas yang sebenarnya. Misalnya, pemunculan tiga dunia yang berbeda, yaitu dunia Inggris modern, dunia kebrutalan pimpinan Sol, dan dunia natural pimpinan Dr Kane. Akhir cerita pun terkesan ganjil ketika anak Dr Kane ternyata menjadi vaksin virus tersebut.

Peran Bill Nelson (Bob Hoskins) juga dipaksakan hadir sebagai orang yang merawat Sinclair dari kecil. Meskipun begitu, akting Rhona Mitra yang memerankan Sinclair yang diketahui berasal dari zona merah itu sedikit menolong film ini.

Monday, January 12, 2009

Komedi dengan Permasalahan yang Ruwet

Judul Film : Burn After Reading
Genre : Drama komedi
Pemain : George Clooney, Brad Pitt, John Malkovich, Frances McDormand, Tilda Swinton, Richard Jenkins, Elizabeth Marvel
Sutradara : Joel Coen dan Ethan Coen
Produksi : Focus Features
Durasi : 96 menit
Rating : 4/5


Inilah film komedi yang membuat penonton harus berpikir. Masalah yang dialami setiap karakter di film ini amat ditonjolkan. Akibatnya permasalahan di film ini terlihat kompleks.

Film ini diawali dari kisah Osbourne Cox (John Malkovich), anggota CIA yang dipecat karena dianggap banyak minum. Dia lalu berencana membuat buku tentang intelijen berdasarkan pengalamannya. Sementara sang istri, Katie Cox (Tilda Swinton), rupanya berselingkuh dengan Harry Pfarrer (George Clooney) yang mengaku sebagai mantan petugas pengawal presiden. Padahal, dia bekerja sebagai petugas administrasi di Departemen Keuangan.

Sementara itu, Linda Litzke, instruktur senam di pusat kebugaran, berkeinginan membuat dirinya terlihat lebih ramping dengan cara operasi. Maklum, umurnya mulai bertambah, tetapi dia belum dapat pasangan. Karena tidak memiliki biaya operasi, Linda bingung untuk mendapatkan uang.

Akhirnya, salah satu pegawai di pusat kebugaran tersebut mendapatkan CD yang berisi dokumen intelijen milik Osbourne Cox. Kemudian, Linda bersama Chad (Brad Pitt) menghubungi Osbourne untuk meminta imbalan karena telah menemukan CD tersebut. Osbourne mengira CD itu berisi data untuk bukunya.

Mereka akhirnya bertemu. Sayang, kesepakatan tidak tercapai. Linda pun kecewa. Tetapi, Linda dan Chad tak hilang akal. CD tersebut akhirnya diserahkan ke kedutaan besar Rusia. Lagi-lagi, demi mendapatkan uang untuk biaya operasi.

Untuk mendapatkan dokumen rahasia lainnya, Linda menyuruh Chad mencarinya di rumah Osbourne. Saat berhasil masuk, Chad malah tewas tertembak oleh Harry yang menginap di situ. Kebetulan, istri Harry, Sandy Pfarrer (Elizabeth Marvel), sedang pergi untuk acara peluncuran buku. Harry pun merasa takut. Apalagi, ada orang yang sering memata-matainya.

Selanjutnya, Osbourne malah dimata-matai oleh agen CIA karena diduga menjadi pembunuhnya. Sementara Linda beserta atasannya, Ted Treffon (Richard Jenkins), bingung atas hilangnya Chad.

Ruwet
Setidaknya ada tujuh tokoh yang memunculkan keruwetan dalam film ini. Setiap tokoh memiliki hasrat dan keinginan yang berbeda. Misalnya, Ted yang diam-diam ternyata menyukai Linda, Sandy yang juga berselingkuh dan mengirim mata-mata untuk mengawasi tindakan Harry, serta Harry yang memang senang berselingkuh.

Namun, perbedaan hasrat dan keinginan itu dirangkai apik oleh Coen bersaudara sehingga menjadi jalinan cerita yang mengejutkan dan tak terduga. Akibatnya, penonton tak bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Penonton hanya diajak untuk mengikuti alur cerita yang skenarionya juga ditulis oleh Joel dan Ethan Coen. Inilah daya tarik film dari sutradara yang juga mengarahkan film No Country for Old Man ini.

Ada daya tarik lain yang bisa dilihat dari film ini, yaitu mengenai pesan yang ingin disampaikan. Coen secara tersirat menyampaikan bahwa sebuah rahasia jika berada di tangan yang salah, akibatnya akan fatal. Di film ini, Chad dan Linda menggambarkan orang yang tak pantas itu. Di tangan mereka, rahasia malah diperdagangkan ke negara lain. Mereka mengkhianati negaranya. Mereka juga yang memperkeruh keruwetan di film ini. Apalagi, tokoh-tokoh di film ini juga sering melontarkan olok-olok dengan nada tinggi. Jadinya, keruwetan makin bertambah.

Untuk para pemainnya, akting mereka patut diacungi jempol. Karakter yang mereka bawakan dapat membangun jalinan cerita. Misalnya, Brad Pitt yang tampil agak bodoh, tapi ingin terlihat modis. Namun, hasilnya malah terlihat norak, meski itu pas untuknya. Clooney juga demikian. Tampil sebagai orang yang pandai memikat wanita, tapi sebetulnya hanya mengincar urusan ranjang.

Terlepas dari itu, di akhir film, Joel dan Ethan Coen akan memberikan kejutan bagi penonton.

Friday, January 09, 2009

Seven Pounds: Menginspirasi untuk Rela Berkorban

Judul Film : Seven Pounds
Genre : Drama
Pemain : Will Smith, Rosario Dawson, Woody Harrelson, Michael Ealy, Elpidia Carrilo, Stewart Goodman
Sutradara : Gabriele Muccino
Produksi : Columbia Pictures
Durasi : 118 menit
Rating : 4/5


Banyak orang yang berat untuk berkorban. Apalagi sampai merelakan seluruh kekayaan dan anggota tubuhnya diberikan kepada orang yang membutuhkan. Namun, film ini mengajak dan menginspirasi penonton untuk rela berkorban bagi orang lain.

Film ini diawali dengan kehidupan Ben Thompson (Will Smith) yang frustrasi karena hidupnya tak berarti. Tinggal di rumah mewah di pinggir pantai tak membuat hidup Ben menjadi tenang. Justru dia merasa ada tanggung jawab yang mesti cepat diselesaikannya. Pasalnya dia menjadi penyebab tewasnya tujuh orang, termasuk istrinya, dalam sebuah kecelakaan yang berlangsung tujuh detik.

Karena merasa bersalah, Ben berupaya mencari tujuh orang yang bisa ditolong olehnya. Namun, itu butuh waktu dan orang yang tepat. Dengan begitu, tanggung jawabnya terselesaikan. Mengaku-ngaku sebagai petugas pajak dari Internal Revenue Service (IRS) yang dapat mengakses laporan pajak banyak orang, Ben akhirnya menemukan Emily Posa (Rosario Dawson), wanita pembuat undangan pernikahan.

Ben kemudian berupaya mendekati Emily dengan alasan menagih tunggakan pajak. Namun di balik itu, Ben rupanya sedang menyelidiki apakah Emily berhak mendapatkan bantuan darinya. Karena itu, Ben harus menjalin hubungan dengan Emily. Bahkan, Ben rela tidur di rumah sakit karena Emily menderita penyakit jantung bawaan.

Pulang dari rumah sakit, Ben masih terus melakukan penjajakan dengan Emily. Sampai akhirnya keduanya saling jatuh cinta. Sayangnya, nyawa Emily tergantung pada seseorang yang bersedia mendonorkan jantungnya. Ben pun tergugah.

Sementara itu, Ben juga mencari orang lain yang pantas ditolong. Salah satunya Ezra Turner (Woody Harrelson), petugas layanan pelanggan yang buta. Ada juga Connie Tepos (Elpidia Carrillo), wanita yang mengalami kekerasan rumah tangga, dan George Ristuccia (Bill Smitrovich), pelatih hoki es yang memiliki penyakit ginjal.

Merekalah orang-orang yang ditolong Ben. Connie Tepos mendapatkan rumah Ben di pinggir pantai. George mendapatkan ginjal Ben. Ezra memiliki bola mata Ben. Sementara Emily akhirnya mendapatkan jantung Ben.

Di akhir cerita, terungkap jati diri Ben yang sebenarnya. Nama asli Ben adalah Tim. Adapun Ben Thompson adalah nama adik Tim yang sebetulnya bekerja di IRS. Orang-orang lain yang juga pernah mendapatkan organ tubuh Tim juga terkuak. Adik Tim menjadi salah satunya yang ditolong. Dia mendapatkan paru-paru Tim. Selain itu, hati Tim ada di tubuh Holly Apelgren (Judyann Elder).

Menyentuh
Film yang disutradarai Gabriele Muccino ini sungguh menyentuh hati penonton. Bahkan, kisah ini bisa membawa penonton meneteskan air mata. Pengorbanan yang tulus dan besar dari Ben menjadi kekuatan film ini. Ini juga yang menginspirasi penonton untuk mau berkorban demi orang lain.

Sisi penggarapannya pun sungguh memikat. Sang sutradara berhasil memancing penonton untuk terus menyaksikan film ini hingga akhir dengan menyajikan sisi romantisme dan tragedi secara bergantian. Dengan alur flashback, Gabriele Muccino juga mengurai sedikit demi sedikit petunjuk mengenai alasan Ben membantu banyak orang. Ini yang membuat penonton penasaran. Jadinya, perasaan penonton ikut terbawa dan hanyut dalam suasana yang dibangun dalam film ini.

Namun begitu, saat Ben menanyakan persentase keselamatan Emily kepada dokter yang merawatnya, jalan cerita seakan mudah ditebak. Bahwa Ben akan mendonorkan jantung dan matanya kepada Ezra dan Emily. Akan tetapi, saat itulah film ini makin menonjolkan pesan yang ingin disampaikan. Penonton pun kembali diajak untuk lebih melihat besarnya pengorbanan dan amat berartinya pertolongan bagi orang lain.

Suasana yang dibangun di film ini tentu tidak bisa terlepas dari peran Will Smith yang bermain cukup apik. Will yang biasanya bermain di film-film laga maupun komedi cukup piawai memerankan karakter Ben yang depresi, tetapi berhati mulia. Kendati sudah cukup terlihat berusaha keras agar tampak serius, mimik wajah Will yang mengundang senyum seperti di film komedi agak sedikit terlihat di beberapa adegan. Namun terlepas dari itu, upaya Will untuk serius di film ini patut diapresiasi. Apalagi, Seven Pounds merupakan film pertama Will Smith di genre murni drama.

Wednesday, January 07, 2009

Kisah Sebelum Tidur yang Menjadi Nyata

Judul Film : Bedtime Stories
Genre : Komedi fantasi
Pemain : Adam Sandler, Jonathan Morgan Heit, Laura Ann Kesling, Keri Russell, Guy Pearce, Richard Griffiths, Courtney Cox, Russel Brand
Sutradara : Adam Shankman
Produksi : Walt Disney Pictures
Durasi : 95 menit
Rating : 3/5

Masih ingat dengan cerita sebelum tidur yang mungkin pernah dibacakan oleh orang tua? Itulah inspirasi film arahan Adam Shankman ini. Akan tetapi, film ini menawarkan sesuatu yang beda, yaitu cerita sebelum tidur menjadi nyata pada hari berikutnya.

Adalah Skeeter Bronson (Adam Sandler) yang mengalami kisah sebelum tidur tersebut menjadi nyata. Skeeter merupakan pegawai hotel yang ramah dan bersahabat. Dulunya hotel tersebut milik ayah Skeeter. Namun, karena hotel tersebut kesulitan keuangan, ayah Skeeter terpaksa menjual hotel itu kepada pemilik jaringan hotel, Barry Nottingham (Richard Griffiths). Barry berjanji bahwa suatu saat Skeeter dapat mengelola hotel itu.

Skeeter pun bekerja keras dengan harapan dia akan menjadi manajer hotel itu. Sayangnya, ketika hari penentuan tiba, ternyata posisi itu justru diberikan kepada orang lain. Kendall Duncan (Guy Pearce) yang akhirnya menjabat manajer hotel. Kendall juga tahu harapan Skeeter yang menginginkan posisi manajer. Karena itu, Kendall berulang kali menunjukkan kekalahan Skeeter. Kendall juga sering memamerkan keunggulan dibandingkan dengan Skeeter.

Skeeter pun tak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa membalas perlakuan Kendall dengan mengarang cerita yang mengunggulkan posisinya. Maka dari itu, dia mendongengkan kisah itu kepada kedua orang keponakannya, Patrick (Jonathan Morgan Heit) dan Bobbi (Laura Ann Kesling). Kebetulan Skeeter harus menjaga keponakannya itu karena kakaknya, Wendy (Courteney Cox), harus keluar kota untuk mencari pekerjaan baru.

Skeeter menjaga kedua keponakannya bergantian dengan teman Wendy bernama Jill (Keri Russell). Terkadang Skeeter juga ditemani sahabatnya, Mickey (Russel Brand).

Setelah menceritakan sebuah kisah pada malam hari, secara tiba-tiba keesokan harinya dongeng Skeeter menjadi sungguhan dan seolah-olah nyata. Skeeter yang membaca peluang emas ini kemudian mengarang berbagai macam cerita. Tujuannya, mengambil alih posisi manajer hotel yang kini dijabat Kendall.

Sayangnya, campur tangan kedua keponakannya mengubah rencana tersebut. Akibatnya, menjadi malapetaka yang tak terbayangkan oleh Skeeter.

Untuk Umum
Meskipun film ini mengangkat dongeng sebelum tidur dan khusus ditujukan untuk anak-anak, bukan berarti film ini tak layak ditonton untuk orang dewasa. Justru film ini dapat dinikmati oleh siapa saja. Sebab, film ini pas untuk semua kalangan dan bersifat umum.

Unsur jenaka dan humor segar yang muncul dari kekonyolan Skeeter terlihat pas untuk dinikmati seluruh keluarga. Suasana yang dibangun di film ini pun akhirnya muncul dari kekonyolan Skeeter itu.

Kepiawaian Adam Sandler memerankan karakter Skeeter juga terasa pas. Kekonyolan yang dihadirkan juga terlihat natural. Sepertinya, dia cocok untuk memerankan karakter pria yang selalu dirundung kesialan seperti di film Anger Management. Yang tak kalah menariknya adalah penampilan dua bintang cilik Laura Ann Kesling dan Jonathan Morgan Heit yang terlihat begitu wajar memerankan dua keponakan Skeeter. Mereka terlihat menikmati peran yang diberikannya.

Meskipun demikian, jangan berharap ada logika di film ini. Sebab, film ini memang sebuah dongeng sebelum tidur yang di dalamnya banyak hal mustahil yang bisa saja terjadi. Terlepas dari itu, Adam Shankman mampu mengolah ide cerita sederhana ini menjadi sebuah tontonan yang menarik dan menghibur. Di samping itu, film berdurasi 95 menit ini juga mengajarkan pada anak-anak agar mereka optimistis. Selain itu, akhir yang bahagia adalah buah dari usaha dan kerja keras diri sendiri.