Tuesday, August 26, 2008

Aku dan Kau (1)

Aku hanya tahu apa yang kutahu
Dan kau hanya tahu apa yang kau tahu

Tapi, aku ingin tahu apa yang kau tahu
Dan aku ingin kau tahu apa yang aku tahu

Bahwa aku tak tahu siapa kau
Dan kau tak tahu siapa aku

Jangan katakan kau tak mau tahu siapa aku
Dan aku tak usah mau tahu siapa kau

Meski aku ingin tahu siapa kau
Dan kau tak ingin tahu siapa aku

Aku hanya ingin tahu siapa kau
Dan aku ingin kau tahu siapa aku

Aku ingin hanya kau yang tahu siapa aku
Dan hanya aku yang tahu siapa kau

Aku ingin kau tahu
Dan kau harus tahu

Bahwa aku adalah aku
Dan kau adalah kau


Bekasi, 08-08-2008

Aku dan Kau (2)

Kau ingin tahu siapa aku
Dan kau ingin aku tahu siapa kau

Aku ingin kau tahu
Dan kau memang harus tahu

Bahwa kau adalah kau
Dan aku adalah aku

Aku ingin juga kau tahu
Dan kau memang harus tahu

Bahwa aku tak seperti yang kau kira
Dan kau tak seperti yang kukira

Jadi, kau tetaplah kau
Dan aku tetaplah aku


Bekasi, 08-08-2008

Hadiah dari Hernowo*)


Mengapa harus menulis dari otak kanan dulu baru otak kiri? Itulah pertanyaan yang menggelayut dalam pikiranku ketika membaca hadiah 1 Sekolah Menulis Online. Aneh memang, kok menulis harus seperti itu.

Namun, pikiranku lalu berputar, mencoba mencari tujuan hadiah ini. Sampai akhirnya, aku teringat tentang apa yang pernah ditulis oleh Hernowo, penulis buku Mengikat Makna, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza, Quantum Reading, Quatum Writing, dan buku lainnya yang berhubungan dengan kemahiran berbahasa, khususnya tentang membaca dan menulis.

Menurut Hernowo, kesulitan awal ketika menulis adalah bagaimana mengeluarkan ide-ide yang bergentayangan di kepala. “Bagaimana mendobrak kebuntuan menulis?” kata Hernowo. Itulah yang menjadi permasalahan penulis pemula (dan juga mungkin penulis senior suatu saat). Wajar memang jika ketika menulis sulit untuk menuangkan ide dalam bentuk kalimat yang pas, enak dibaca, dan gurih.

Di beberapa buku Hernowo tersebut ada yang menyinggung sangat dalam ataupun hanya sebatas permukaan tentang cara mengatasi kebuntuan menulis. Aku lupa di buku yang mana Hernowo menerangkan cara kebuntuan menulis. Meskipun begitu, intinya ada beberapa teknik yang disampaikan oleh Hernowo untuk mengatasi hal tersebut.

Cara pertama dapat dilakukan dengan fast writing atau menulis cepat. Dalam teknik ini dijelaskan bahwa untuk melepas hambatan menulis, si penulis harus menuliskannya apa saja yang benar-benar terlintas dalam pikiran. Hernowo bahkan mengancam agar tidak memikirkan tata bahasa ataupun hal-hal yang berkaitan dengan itu, seperti tanda baca, susunan kalimat, pokoknya apa saja yang menghambat proses penulisan.

Rupanya, cara ini digunakan memang untuk menggairahkan otak kanan agar bisa bebas dan melayang sesuka hati. Maka dari itu, Hernowo menyarankan untuk tidak terlalu terpaku untuk menggunakan otak kiri. “Bagaimana mau bisa menulis kalau terus memikirkan kata ini pas tidak, EYD-nya sudah benar belum ya, atau kalimat ini berhubungan nggak dengan kalimat sebelumnya. Itu kan tugas otak kiri,” mungkin begitu kira-kira ucapan Hernowo dalam sebuah bukunya.

Bahkan, Hernowo menyarankan untuk terus menulis dalam sebuah buku harian. Itu sangat bermanfaat melatih otak kanan, karena dalam buku harian kita bebas menulis apa saja, dengan gaya apa saja, asalkan sesuka kita. Jadi, mirip buku chicken soup versi sendiri.

Menulis buku harian pun, saran Hernowo, harus dilakukan secara rutin, meskipun hanya satu kalimat. Kendati hanya satu kalimat, itu rupanya sudah melatih otak kita untuk terus menulis. Setidaknya itu memberikan stimulus kepada otak untuk tetap menulis.

Hernowo juga menyarankan agar menulis apa saja yang terlintas dalam pikiran kita. Jika kita tidak tahu harus menulis apa, tulis saja seperti itu, ‘saya tidak tahu apa yang akan saya tulis.” Aneh memang tapi itu bisa mendobrak kesulitan kita untuk menulis.

Aku pernah melakukan apa yang disarankan pegawai di penerbit Mizan itu. Awalnya memang sulit. Aku bahkan menulis ‘saya tidak tahu harus menulis apa’ di hampir seluruh tulisan di buku harian. Tapi dari situ, lama-kelamaan entah dari mana ada saja ide untuk menulis ini, menulis itu, dan sebagainya. Makanya, saran Hernowo ini rupanya cukup ampuh buatku.

Di awal-awal menerapkan pelajaran dari pria kelahiran Magelang (kebetulan sama dengan daerah asalku) itu, saya pernah menulis ‘saya tidak tahu harus menulis apa’ sebanyak satu halaman. Dari situ hingga bisa menulis tanpa harus diawali ‘saya tidak tahu harus menulis apa’, sekarang sudah terkumpul tiga buku harian yang semuanya ditulis dalam bentuk soft copy. Bahkan, buku harian itu saya namakan Jejak 1, Jejak 2, dan Jejak 3. Isi ketiga buku itu hanyalah persoalan sehari-hari yang ringan dan yang dialami setiap hari.

Meski cuma berisi tulisan-tulisan ringan, ada perasaan bangga begitu tulisan itu dicetak dan dijilid. Rasanya seperti menghasilkan sebuah buku lalu dicetak sendiri. Namanya juga sederhana, kumpulan tulisan itu akhirnya dicetak menggunakan printer di atas kertas ukuran A4 yang dibagi dua. Setiap halaman dari kertas tersebut diisi tulisan ringan tersebut. Setelah itu dijilid. Untuk menambah keren, saya juga selipkan kata pengantar di setiap buku itu. Sekarang, buku itu tersimpan dengan rapi.

Untuk teknik kedua, Hernowo mungkin terinsipirasi dari pandangan Tony Buzan yang mencetuskan mind map. Mind map atau pemetaan pikiran ini menuliskan sebuah kata tepat di tengah-tengah kertas. Lalu, kata tersebut dihubungkan dengan hal lain yang masih berkaitan. Begitu terus, sampai akhirnya kita dapat memilih salah satu tema dari pemetaan pikiran tersebut. bahkan kalau perlu ditambahkan dengan gambar-gambar atau hal-hal lain yang mendukung, seperti pemberian garis dengan warna yang berbeda agar terlihat ciamik.

Untuk teknik yang satu ini, aku jarang menerapkannya. Kayaknya kurang cocok denganku. Apalagi, menurutku, cara itu lebih njelimet. Akhirnya cara pertamalah yang sering aku gunakan.


*) Tulisan ini merupakan hadiah 1 untuk kelas Sekolah Menulis Online (SMO) yang aku ikuti.

Tuesday, August 19, 2008

Ketika Cermin Menghantui Manusia

Judul Film : Mirrors
Genre : HororPemain : Kiefer Sutherland, Paula Patton, Amy Smart, Mary Beth Peil, Cameron Boyce, Erica Gluck, Julian Glover, John Shrapnel
Sutradara : Alexandre Aja
Produksi : 20th Century Fox
Durasi : 110 menit


Bukan hantu atau makhluk halus yang menjadi sumber kengerian dalam film ini. Namun, cerminlah yang menjadi sumber ketakutan dalam film arahan Alexandre Aja ini. Ide cerita ini sepertinya mirip dengan film Mirror versi Indonesia yang dibintangi Nirina Zubir, yakni sama-sama mengambil cermin sebagai sumber ketakutan.

Kendati mengambil judul yang sama, cerita dalam film ini berbeda dengan film Mirror arahan Hany R Saputra itu. Kisah film Mirrors ala Alexandre Aja lebih menekankan bahwa di balik cermin ada kehidupan lain yang terkadang menakutkan.

Film ini dimulai dari diterimanya Benjamin Carson (Kiefer Sutherland), seorang mantan polisi, menjadi penjaga gedung tua. Gedung tua bernama Mayflower itu kini rusak akibat terbakar beberapa tahun lalu dan dibiarkan terbengkalai

Di saat yang sama Ben sedang mengatasi perasaan bersalah karena pernah menembak rekan sejawatnya ketika masih bertugas di kepolisian. Di samping itu, ia juga.berupaya memulihkan hubungan dengan keluarganya dan mengatasi ketergantungan terhadap minuman keras.

Hingga suatu ketika, saat ia menjaga gedung tua tersebut, Ben menemukan jejak telapak tangan yang menempel di sebuah cermin. Ia berusaha membersihkannya. Tapi, malah telapak tangannya tergores akibat pecahan kaca. Anehnya, cermin yang disentuhnya tidak ada yang pecah.

Setelah itu, di hari yang lain, lagi-lagi Ben menemukan keanehan-keanehan di gedung tersebut terutama yang terlihat dalam sebuah cermin. Keanehan tersebut mulai dari terbakarnya tubuh Ben yang terlihat di cermin, sedangkan di dunia nyata tubuhnya tidak terbakar. Kemudian, ada juga rintihan suara wanita, penampakan seorang wanita yang kesakitan, dan sebagainya.

Cermin tersebut akhirnya mulai meneror kehidupan Ben. Adik Ben, Angela Carson (Amy Smart), menjadi korban teror dari cermin. Ben pun mengkhawatirkan keselamatan sang istri, Amy Carson (Paula Patton), dan dua anak mereka, yakni Michael (Cameron Boyce) dan Daisy (Erica Gluck).

Ben pun mulai menyingkirkan semua benda yang dapat memantulkan bayangan. Bahkan, semua cermin ditutupi dengan cat. Setiap kaca di jendela dan pintu juga ditutupi dengan kertas koran.

Sampai suatu saat, cermin di gedung tua tersebut menggoreskan sebuah nama, yaitu Esseker. Naluri Ben sebagai mantan polisi muncul. Penyelidikan dilakukan untuk mengetahui makna Esseker dan menyelamatkan keluarga Ben dari teror cermin.

Tak ada yang baru dalam film produksi 20th Century Fox ini. Seperti film-film yang menyuguhkan ketakutan, film ini dikemas dengan nuansa suram dan kelam. Bahkan, gedung tua yang menyimpan misteri menjadi hal klise mengingat film horor kerap menampilkan setting ini. Rupanya tak hanya film horor dari Indonesia yang memberikan kesan angker melalui sebuah gedung tua, tetapi juga film arahan sutradara asal Perancis ini.

Sementara itu, dari sisi cerita juga tak istimewa. Alur cerita yang ditulis Alexandre Aja dan Gregory Levassuer mudah ditebak. Apalagi ketika adegan mulai menyeramkan. Tampilan berbagai macam keanehan ataupun keganjilan membuat penonton mudah menebaknya.

Akan tetapi, bagi penikmat film horor, keganjilan-keganjilan yang kian lama kian banyak dan menyeramkan dapat menjadi kenikmatan tersendiri. Apalagi, suguhan suara yang mendukung serta akting Kiefer Sutherland dan Paula Patton yang merefleksikan ketakutan dan kengerian mampu menyokong suasana yang ingin ditonjolkan dari film horor ini. Akhirnya, bersiaplah untuk menerima rentetan teror dari benda yang memantulkan bayangan itu.

Friday, August 15, 2008

Kerja keras dan santai di Anyer

Inilah para panitia liburan ke Anyer pada tahun 2006 lalu. Panitia itu (ka-ki) Tomo, Yoga, Kiki, Udin, dan gua. Sebelum pulang nggak ada salahnya dikit mejeng, iya kan? hehehehe.

Kalau yang ini ada di salah satu lereng yang di bawahnya banyak air. Adiknya Yoga, Tyas, kayaknya jadi ratuny tuh. hehehe. Sementara Dadang kecengesan karena kepanasan dan nggak pake topi.

Sedikit bergoyang di pinggir pantai karena Dadang 'Dado' Rachmat lagi unjuk suara dangdutnya.

Makan kok ada jenjangnya ya. Kira-kira Yoga makan apa ya, sedangkan Udin yang paling bawah kira-kira makan makanan kelas bawah kali ya.

Thursday, August 14, 2008

Penjaga Malam

Kiri-kanan: Udin, Tomo, Yoga yang baru aja selesai main bulu tangkis di lapangan dekat rumah, sedangkan saya baru aja pulang kerja. Biasanya kalau udah begini ngbrol sampai pagi. akhirnya jadi deh penjaga malam (tukang ronda maksudnya)

Ini dalam gayayang lain, meski posisinya beda.

Ini juga dengan gaya yang berbeda. Semua foto ini diambil secara otomatis dengan posisi kamera diletakkan di atas motor. Lumayan juga hasilnya, kan?

Monday, August 11, 2008

Petualangan Robot Pembersih Bumi

Judul Film : Wall-E
Genre : Animasi
Pemain : Fred Willard, Jeff Garlin, Ben Burtt, Sigourney Weaver
Sutradara : Andrew Stanton
Produksi : Walt Disney Pictures
Durasi : 98 menit

Kebiasaan buruk manusia yang membuang sampah sembarangan lambat laun akan menjadikan bumi dipenuhi sampah. Lalu, apa jadinya jika hal itu terjadi? Lantas, bagaimana dengan kehidupan manusia?

Melalui film animasi besutan Andrew Stanton ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab. Film ini mengisahkan bahwa bumi akhirnya hanya menyisakan sampah yang menggunung. Sementara manusia—yang tidak mau tinggal di lingkungan yang dipenuhi sampah—harus bermigrasi ke sebuah pesawat luar angkasa bernama Axiom.

Untuk membersihkan bumi, ditugaskanlah robot pembersih sampah. Sayang, hingga tujuh abad tugas tersebut belum selesai dan hanya menyisakan satu robot pembersih yang bernama Wall-E (singkatan dari Waste Allocation Load Lifter-Earth Class).

Kehidupan robot ini pun mirip manusia. Siang hari bekerja, malam hari istirahat. Sebelum bekerja, Wall-E selalu mengisi energi dengan mengandalkan tenaga surya. Setelah itu, ia mengumpulkan sampah, lalu menekannya menjadi bongkahan-bongkahan kubus dan menyusunnya hingga menjulang.

Kecoa menjadi teman setia Wall-E. Sementara hiburan untuk Wall-E hanyalah kaset rekaman film usang yang menggambarkan dua orang kekasih saling bergandengan tangan. Bergandengan tangan menjadi impian Wall-E. Ia selalu berharap mendapatkannya.

Suatu ketika datanglah pesawat luar angkasa yang mengirimkan robot pencari tanaman. Robot ini disebut Eve (singkatan dari Extraterrestrial Vegetation Evaluator). Wall-E terkesima dengan robot putih bermata biru yang dapat menembakkan laser dari tangan itu.

Berbagai upaya dilakukan Wall-E untuk mendekati Eve. Ketika berhasil mendekati Eve, Wall-E memberikan tanaman yang ditemukannya saat mengumpulkan sampah. Eve, yang diprogram untuk mencari tanaman, langsung mengambil dan menyimpannya di dalam tubuh. Tak berapa lama, Eve seperti tak bernyawa. Hanya lampu indikator tanaman berwarna hijau yang menyala.

Wall-E merasa kehilangan Eve. Apalagi ketika Eve dijemput pesawat luar angkasa. Wall-E yang tak mau kehilangan Eve, membonceng kapal tersebut. Ternyata di pesawat Axiom, robot pembersih itu mendapat petualangan seru.

Tanaman yang dibawa Eve ternyata pertanda untuk mengembalikan seluruh manusia di pesawat Axiom ke bumi. Kapten kapal Axiom akhirnya memutuskan hal itu. Namun, keputusan kapten kapal ditentang robot pilot otomatis. Akhirnya, Wall-E dan Eve bekerja sama untuk membawa penumpang Axiom kembali ke bumi.

Di film yang ceritanya ditulis juga oleh Andrew Stanton ini sangat minim dialog. Setidaknya ini mengungkapkan bahwa sebenarnya robot memang tidak bisa berbicara seluwes manusia.

Karena itu, penggunaan gambar bergerak menjadi solusi untuk menyampaikan cerita film ini. Tindakan dan pengungkapan perasaan setiap tokoh di film ini juga ditampilkan dengan gambar bergerak. Untuk mendukung itu, film ini pun dibuat senyata mungkin meski Wall-E dikemas dalam bentuk animasi.

Andil Pixar Animation Studios untuk menciptakan film animasi senyata aslinya tak perlu diragukan. Buktinya, film animasi Finding Nemo, The Incredible, dan Cars menjadi pembuktian Pixar. Karena itu, tampilan Wall-E tak kalah dengan film-film tersebut.

Terlepas dari tampilan yang memesona, film yang layak ditonton anak-anak ini juga memberikan pesan mendalam. Setidaknya ada dua pesan yang disampaikan. Pertama, film ini menyinggung kehidupan manusia yang terlalu mengandalkan kemajuan teknologi. Dalam film ini, teknologi yang hebat membutakan manusia dari kehidupan nyata.

Kedua, sejalan dengan keadaan sekarang, bumi haruslah dijaga kelestariannya. Pesan ini tampak dari alur yang menceritakan pencarian tanaman. Jadi, selain menghibur, film ini mengajak penonton untuk melestarikan bumi.

Friday, August 08, 2008

Berpose di Ruang Foto

teman-teman yang ikut nimbrung kebanyakan dari bagian produksi. Tapi ada juga beberapa redaktur di sana.

Ini juga sama. Cuma beda posisi pengambilan gambar.

Tuesday, August 05, 2008

Indahnya Gerakan Tarian Jalanan

Judul Film : Step Up 2: The Street
Genre : Drama Musikal
Pemain : Briana Evigan, Robert Hoffman, Will Kemp, Cassie Ventura, Adam Sevani, Danielle Polanco, Black Thomas, Telisha Shaw
Sutradara : Jon M Chu
Produksi : Summit Entertainment dan Offspring Entertainment
Durasi : 98 menit


Sama seperti film sebelumnya, Step Up (2006), tarian dan musik hip hop masih menjadi daya pikat film besutan Jon M Chu ini. Meskipun begitu, cerita yang dihadirkan bukan kelanjutan dari film sebelumnya yang diarahkan Anne Fletcher.

Cerita yang disuguhkan kali ini mengisahkan kehidupan Andie West (Briana Evigan), wanita cantik yang terobsesi dengan tarian jalanan. Karena kecintaannya tersebut, ia bahkan tak melanjutkan sekolah. Sarah, yang menjadi orang tua angkat Andie, terpaksa mengusir Andie dari rumah karena hal itu.

Andie pun pergi ke klub malam. Di tempat tersebut, Andie bertemu Tyler Gage, sahabatnya yang jago menari. Mengetahui permasalahan Andie, Tyler menantang gadis tersebut beradu menari. Jika Tyler menang, Andie harus melanjutkan sekolah di Maryland School of Arts (MSA), sekolah dambaan para penari. Akhirnya, Andie diterima di sekolah tersebut.

Untuk menyalurkan kegemarannya, Andie bergabung dengan kelompok penari jalanan 410. Kelompok ini sedang menyiapkan diri untuk bertanding dalam perlombaan tarian jalanan yang disebut The Street. Maklum, gelar juara lima kali berturut-turut ingin mereka pertahankan.

Sayangnya, akibat kesibukan di sekolah, gadis yang biasa dipanggil ‘D’ itu selalu tak bisa ikut berlatih. Jikapun bisa datang, ia selalu terlambat. Karena hal itu, Andie dikeluarkan dari kelompok 410.

Sementara itu di sekolah, Andie bertemu Chase Collin (Robert Hoffman) pemuda tampan yang juga jago menari. Bersama Chase, ia pun membentuk kelompok menari. Anggotanya merupakan siswa MSA yang tak cocok dengan kurikulum sekolah. Jadinya, kelompok itu seperti kelompok buangan di sekolah. Bahkan, tarian yang mereka pertunjukan tidak disukai Blake Collins (Will Kemp), guru di MSA dan kakak Chase.

Blake makin tak menyukai grup dan tarian mereka begitu ruang studio di MSA dihancurkan kelompok 410. Blake yang mengetahui Andie pernah tergabung dalam 410 mengeluarkan Andie dari sekolah. Lagi-lagi kecintaan Andie terhadap tarian jalanan diuji.

Film berdurasi sekutar 98 menit ini kerap menayangkan gerakan-gerakan tarian yang cukup sedap dipandang. Dari awal hingga akhir film, tarian-tarian jalanan yang disuguhkan terus bermunculan dengan koreografi yang juga beragam.

Di awal film, tarian tersebut bahkan dilakukan di dalam kereta oleh beberapa orang yang menggunakan topeng. Sementara di akhir film, tarian tersebut disuguhkan di jalanan dalam guyuran hujan dengan disertai penerangan dan musik yang keluar dari sejumlah mobil. Jadi, adegan ini cukup memberikan nuansa lebih segar.

Tak hanya koreografi tarian yang variatif, musik pengiring tarian tersebut juga beragam. Musik yang diperdengarkan di antaranya hip hop, R&B, rap, dan beberapa musik lain dengan ritme nada yang energik sehingga memancing untuk bergoyang. Dengan begitu, roh film ini berasal dari dua unsur tersebut. Roh film ini makin kuat dengan tampilan gambar yang penuh warna.

Hal menarik lainnya berasal dari alur cerita yang digarap oleh Toni Ann Johnson dan Karen Barna. Cerita yang disajikan cukup ringan dan sederhana sehingga mudah untuk diikuti. Konfilk yang dialami para pemerannya juga ringan, tak terlalu dramatis dan rumit. Akibatnya, karakter tokohnya pun biasa saja.

Bumbu romantisme juga diselipkan di film ini. Hal itu terlihat ketika adegan Andie dan Chase berada di atas pohon dengan warna lampu yang cukup temaram. Sayangnya, kedekatan antara para anggota kelompok buatan Andie dan Chase kurang terasa. Akan tetapi, gerakan tarian jalanan dari kelompok Andie dan 410 serta disertai dentuman musik yang serasi cukup menghibur penonton.